Nama saya Ardhian
Zahroni, biasa dipanggilan Roni. Ayah saya bernama Abdul Manan dan ibu saya
bernama Titik Ratnawati. Saya anak keempat dari empat bersaudara, jadi saya
adalah anak bungsu di keluarga. Saat ini saya tinggal di Dusun Urung-Urung Desa
Jatijejer Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, bersama istri dan tiga anak
saya di sebuah desa di lereng Gunung Welirang. Saya lahir di Mojokerto tanggal 17
Juni 1980.
Masa kecil saya
tinggal di Jl. KH. Nawawi No 12 Kota Mojokerto. Bersama Bapak, Ibu dan ketiga
saudara saya. Bapak dan Ibu saya adalah guru SD. Bapak mengajar di SDN Wates 5
Mojokerto, sedangkan Ibu di SDN Mentikan 5 Mojokerto. Saya sendiri mengenyam
pendidikan SD di sekolah tempat ibu saya mengajar.
Tahun 1989, pada
saat saya kelas 3 SD, Bapak saya menjadi Kepala Sekolah di SDN Wates 5. Maka
kami sekeluarga menempati rumah dinas di SDN Wates 5, tepatnya di Jl. Bromo
Raya Perumnas Wates Mojokerto. Kami tinggal di rumah tersebut selama 9 tahun.
Setelah Bapak pensiun, kami pindah kembali ke Rumah asal, Jl. KH. Nawawi No 12
Mojokerto.
Saat SD, saya
menimba ilmu di sekolah pinggiran. Kebanyakan siswanya adalah anak-anak yang
kurang memiliki motivasi belajar tinggi. Namun demikian hal tersebut menjadikan
saya menjadi siswa teladan dengan memegang juara bertahan ranking satu mulai
dari kelas 1 sampai kelas 6. Sejak kecil saya sudah memiliki impian untuk
berprestasi, jadi walaupun teman-teman sebaya kurang bersemangat dalam belajar
hal tersebut tidak mengendorkan semangat saya untuk meraih prestasi yang
tinggi.
Tahun 1992
Alhamdulillah saya masuk SMP favorit di kota kelahiran saya, SMP Negeri 1
Mojokerto. Di SMP ini saya menemukan pengalaman dan suasana belajar yang baru,
yang berbeda dengan tempat saya belajar di SD.
Pengalaman yang
cukup pahit ketika saya tidak memakai atribut seragam yang lengkap pada hari
Senin. Saya dijemur di lapangan upacara dihadapan seluruh siswa yang ada.
Betapa malunya saat itu.
Setelah itu
saya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di SMA Negeri 1 Sooko
Mojokerto. Sekolah yang terkenal favorit karena banyak meluluskan siswa yang
berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tapi juga sekaligus terkenal
dengan kenakalan siswa-siswanya. Namun dibalik kenakalannya tersebut,
siswa-siswa SMA Sooko adalah anak-anak yang cerdas dan berprestasi. SMA Sooko
dahulunya adalah SMPP (Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan). Tahun 1984 SMPP
diubah namanya menjadi SMAN 1 Sooko.
Dalam benak
anak yang baru gede seperti saya waktu itu, betapa keren sekolah di SMA Sooko
tersebut. Dengan area sekolah yang demikian luas dan memiliki reputasi nama
sebagai sekolah favorit, maka masuk ke SMAN 1 Sooko merupakan cita-cita saya
pada saat itu. Dan bukan berarti masuk SMAN 1 Sooko tersebut adalah hal yang
mudah, persaingan yang cukup ketat terjadi pada saat penjaringan awal siswa
baru di SMAN 1 Sooko. Saat itu NEM SMP saya adalah 43. Detik-detik berakhirnya
pengumuman siswa baru merupakan detik-detik yang paling menegangkan, karena
menggunakan sistem gugur. Ketika nilai NEM siswa yang barusan mendaftar lebih
baik, maka siswa yang berada di daftar siswa masuk paling bawah akan
dieliminer. Pada saat itu nilai saya tidak berada di posisi paling bawah. Akan
tetapi juga merasa deg-degan, jangan-jangan pendaftar baru dengan nilai lebih
bagus dari saya jumlahnya banyak, sehingga dapat mengeliminasi nama saya dari
daftar siswa baru. Alhamdulillah, saya berhasil lolos terdaftar sebagai salah
satu siswa baru SMA Negeri 1 Sooko di tahun 1995.
Lulus dari SMAN
1 Sooko, saya berniat untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pilihan saya waktu
itu ada dua, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas
Brawijaya (Unibraw). Saya mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)
di Malang. Ketiga saudara saya kuliah di Malang seluruhnya. Kakak tertua, Mbak
Novida Maria Ulva kuliah STIKN (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi), saat itu barusan
lulus kuliah dan masih tinggal di Malang. Kakak kedua dan ketiga, Mas Andi
Firmansyah dan Mbak Arlin Nur Cahyani masih aktif kuliah semester 8 dan semester
4 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jurusan Bahasa Inggris.
Setelah melalui
penantian yang cukup mendebarkan, pada hari pengumuman UMPTN. Pagi-pagi sekali
saya beli Koran Jawa Pos untuk mencari berita pegumuman kelulusan. Tapi saat
itu saya tidak mau membaca sendiri hasil pengumumannya. Setelah beli koran,
saya berikan koran tersebut ke Bapak. Kemudian saya tinggal ke rumah tetangga
sambil berdoa semoga Allah memberikan kelulusan. Dan ternyata saat itu keluar
dari rumah kakak saya Mbak Arlin dengan wajah penuh kegembiraan memanggil saya
dan setengah berteriak bahwa saya lulus UMPTN, dan masuk ke Jurusan Teknik
Sistem Perkapalan ITS Surabaya. Alhamdulillah.
Disinilah saya
mulai membangun cita-cita, mimpi dan harapan saya kedepan. Betapa girangnya
hati saya saat itu, berangkat menuju Surabaya didampingi oleh Bapak untuk
mengurus keperluan Perkuliahan. Ya saya sudah resmi menjadi Mahasiswa, sebuah
istilah yang selama ini saya impikan semasa SMA. Apalagi Mahasiswa PTN terkenal
seperti ITS. Wow betapa bangga. Demikian pula roman kegembiraan juga tampak
jelas di wajah orang tua saya saat itu. Saya seakan menjadi anak kebanggaan
dengan berhasil masuk PTN sementara ketiga kakak saya sebelumnya tidak berhasil
menembus tes UMPTN tersebut.
Tahun 1998, saya
memasuki dunia kampus di ITS Surabaya. Semester I adalah masa adaptasi yang
tidak pernah terlupakan. Bagaimana saat itu saya harus hidup mandiri, jauh dari
saudara dan orang tua. Setiap bulan uang saku saya mendapat uang saku dari
orang tua sebesar Rp. Rp.90.000 sampai 120.000,-/bulan. Dengan harga makan
rata-rata masih Rp.1000 per porsi sudah dapat nasi dan sayur dengan lauk telur
plus teh hangat, saya harus menyisihkan uang tersebut untuk keperluan kuliah
yang lain. Menabung untuk beli buku, kalkir, alat gambar, dll. Dengan anggaran
yang terbatas, saya coba untuk menghemat pengeluaran makan dengan memasak nasi
sendiri dan beli lauk di warung. Terkadang hanya makan dengan lauk “ote-ote”,
lumayan hanya Rp. 500, sudah dapat nasi dan sayur plus lauk istimewa “ote-ote”
satu biji, minumnya air putih gratis. Dengan kebiasaan seperti itu, maka wajar
kalau saat ini saya bukanlah orang yang rewel dalam masalah makanan. Mungkin
lidah saya sudah “kebal” karena terbiasa makan makanan seadanya saat di
kos-kosan semasa kuliah.
Tahun 2003 saya
lulus dari ITS, tepatnya bulan September 2003. Kuliah di Jurusan Teknik Sistem
Perkapalan saya tempuh dalam 4,5 tahun. Molor 1 semester.
Selepas lulus
kuliah, saya berniat untuk bekerja. Tidak terhitung berapa surat lamaran yang
saya tujukan, baik itu taraf perusahaan multinasional bahkan sampai perusahaan
abal-abal yang hanya mencari tenaga sales untuk memasarkan produknya. Tidak
terhitung berapa kali saya mengikuti tes, mulai tes tulis, tes psikologi, tes
kesehatan, tes wawancara. Tapi ternyata rejeki belum juga sampai.
Pengalaman yang
tidak terlupakan adalah ketika saya membaca iklan cilik di Jawa Pos di hari
Sabtu. Karena hari Sabtu memang hari yang ditunggu-tunggu oleh
“pengangguran-pengangguran” untuk mencari iklan lowongan yang banyak bertebaran
di halaman iklan di media cetak. Saat itu saya ingin mendapat penghasilan yang
lebih besar. Maklum saat itu penghasilan saya satu-satunya adalah dari gaji Les
privat anak SMP – SMA di daerah Surabaya. Sekedar untuk menyambung hidup. Maka
saya bertekad untuk segera bekerja di perusahaan. Saya tertarik dengan kalimat
di salah satu iklan : “Walk in interview, langsung kerja. Gaji Rp. 2 – 5 Juta”.
Mata saya langsung tertuju pada salah satu iklan cilik tersebut. Wah, tidak ada
salahnya dicoba, batin saya waktu itu.
Maka saya
langsung starter sepeda motor kesayangan menuju lokasi. Sesampai di tempat,
saya temukan sebuah lokasi ruko yang sudah dipadati pelamar kerja seperti saya.
Penampilannya rata-rata sama. Pakai kemeja lengan panjang warna cerah,
bercelana hitam dan sepatu pantofel yang mengkilap. Setelah mendaftar Rp.
10.000,- saya diarahkan menuju tempat interview. Dari awal saya sudah mulai
curiga ini bukan tempat yang tepat untuk saya. Petugas interview seorang
laki-laki paruh baya, setelah basa-basi tentang riwayat hidup. Saya diminta
untuk mengikuti “training kerja”. Instrukturnya seseorang yang tampilannya
kurang meyakinkan. Rambutnya tidak tertata rapi, dengan kemeja lengan pendek
dan celana yang tidak rapi. Kuku tangannya panjang sepertinya tidak terawat
dengan baik. Dari cara komunikasi bisa saya pastikan bukan dari kalangan
berpendidikan tinggi.
Saya bersama
empat orang lainnya dikirim menuju Perbatasan Gresik Mojokerto. Di sana kami
ternyata disuruh untuk jualan produk dengan cara mengelabui calon konsumen.
Instruktur training mulai beraksi. Dengan suara yang keras dia memanggil calon
konsumen untuk membukakan pintu. Dengan ekspresi gembira yang terlalu
dibuat-buat dia mengatakan selamat bahwa anda telah memenangkan hadiah dari PT.
Unilever, karena Unilever sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 20. Kemudian
dia meminta calon konsumen untuk mengambil bungkus salah satu produk Unilever
yang ada di rumah tersebut. Entah itu Pepsodent, Molto, Lifeboy, atau yang
lainnya. Apabila ternyata calon konsumen tersebut punya bungkus dari salah satu
produk Unilever, maka dia dikatakan mendapat diskon dari produk yang
ditawarkan. Seingat saya, produk yang ditawarkan saat itu adalah alat
kesehatan. Harga awal katanya Rp. 500.000,- tapi saat ini ada program dari
Unilever maka harganya Cuma Rp. 190.000.
Setelah melihat
aksi instruktur tersebut, saya akhirnya mundur teratur. Saya memilih untuk
tidak ikut lebih jauh, dan memilih duduk-duduk di teras masjid. Dengan napas
dalam saya geleng-geleng kepala sendiri, kok bisa saya ikut kerja model seperti
ini. Ya itu salah satu pengalaman sewaktu menjadi Job Seeker.
Pekerjaan yang
saya dapat akhirnya tidak jauh berbeda dengan pekerjaan orang tua saya. Menjadi
seorang guru. Tahun 2006 ada dua kejadian besar dalam hidup saya. Yang pertama
mendapat pekerjaan, yang kedua adalah menikah dengan wanita cantik yang
sholehah, bernama Suciati.
Hal yang luar
biasa ketika saya memantapkan diri untuk meminang calon istri saya, saat itu
saya belum mendapat pekerjaan yang pasti. Saya saat itu dikenal sebagai
“pengacara” pengangguran banyak acara. Dengan seabrek aktivitas dakwah di
sekitar kampus dan terdapat jadwal mengajar les privat anak SMP/SMA di
Surabaya. Namun dorongan untuk segera menikah demikian kuat. Terlebih ketika
itu dua orang sahabat seperjuangan yang bernama Wasis dan Joko Lelono sudah
lebih dulu menikah. Teman-teman saya ini tidak henti-hentinya menjadi
provokator saya untuk segera mengakhiri masa lajang saya. Masih teringat waktu
itu Jumat dini hari tanggal 17 di bulan Juni 2005 selepas pengajian, saya tidak
pulang ke kos-kosan. Saya mampir masjid di dekat rumah kos, Masjid Asy-Syafiiyah.
Di masjid itu saya istikhoroh dan bermunajat kepada Allah untuk diberi
kemantapan hati dalam rangka meminang si calon istri idaman. Semalam suntuk
saya tidak tidur, terus berdoa dan memohon yang terbaik. Sekitar pukul 03.00
pagi, akhirnya saya memberanikan diri untuk melayangkan SMS ke nomor wanita
idaman. Kata demi kata yang saya ketik dengan hati-hati saya baca perlahan.
Cukup lama waktu itu untuk memilih kata-kata. SMS yang biasanya saya ketik
tidak lebih dari 1 menit, tapi untuk urusan ini 15 menit belum juga selesai.
Setiap kalimatnya sampai saat ini masih tersimpan. “Bismillah, maukah ukhti
menerima khitbahku? Ana berharap mendapat teman terdekat yang sholehah, untuk
taat kepada Allah, untuk menyempurnakan agama dengan menikah. Ana berharap
Ukhti bersedia menjalani proses awal ini. Apapun pilihan Ukhti, akan ana
hormati sebagai keputusan seorang yang ana kagumi karena Allah. Semoga Allah
menunjukkan yang terbaik untuk kita. Semoga pesan ini adalah awal yang penuh
berkah”. Dengan bismillah, saya kirim teks SMS ke nomor wanita yang saat ini
menjadi istriku tepat pukul 02:35:06. Tepat dengan tanggal dan jam kelahiran
saya 25 tahun yang silam.
Adzan subuh
berkumandang, tidak terasa semalaman saya terjaga untuk bermunajat dan menyusun
kata-kata khitbah kepada calon istri. Perasaan grogi dan harap cemas bercampur
aduk. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam saya lihat HP Nokia saya
berharap ada balasan dari si dia. Kemudian terdapat SMS balasan, insya Allah
dia bersedia untuk bertaaruf dengan saya. Dan melanjutkan komunikasi lewat
email.
Alhamdulillah
saat ini saya bekerja sebagai seorang guru di Pondok Pesantren eLKISI
Mojokerto. Dan di rumah ada pekerjaan sampingan, terdapat toko alat tulis,
warnet, dan foto copy center. Saya tinggal bersama seorang istri dan tiga orang
anak di pedesaan. Dengan latar belakang Gunung Welirang.
Saat ini saya
mengikuti Program S2 di Universitas Adibuana Surabaya Jurusan Teknologi Pendidikan. Saya berharap mendapat ilmu yang bermanfaat dari tempat tersebut sekaligus
mendapatkan gelar Master Pendidikan. Amin.
Editing terakhir tanggal 27 Juni 2017