Kejadian di Bandara Juanda



Salah satu rukun dalam muamalah adalah adanya akad. Dan hal ini dimaksudkan agar antara kedua belah pihak yang bermuamalah tidak terdapat ketidakenakan setelah muamalah terjadi.
Pengalaman sewaktu mengantar ortu ke Bandara Juanda Surabaya (Kamis, 10 April 2014) kemarin mengingatkan tentang pentingnya akad dalam bermualah.

Dengan minimnya pengalaman masuk Bandara (maklum wong ndeso yang jarang naik pesawat terbang J). Hal ini yang menyebabkan dua kali “terjebak” pihak-pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. 

Setelah keluar dari tempat pemeriksaan barang, barang yang keluar dari roll pemeriksaan saya ambil. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian seragam seraya melontarkan senyum dan berkata “Pakai Pesawat Lion Pak?”. Karena merasa tiket yang kami pesan adalah Lion Air, maka kami membenarkan. Dan petugas tersebut dengan cekatan mengambil salah satu tas kami dan berkata, “biar kami bantu pak”. Dengan agak bingung kami mengikuti saja petugas tersebut. Kemudian Si Petugas berjalan menuju tempat pengikatan barang dan mulai mengikat barang-barang kami (1 tas dan 2 kerdus). Setelah selesai mengikat, Si Petugas dengan santai menyampaikan, “Semuanya Rp. 40.000,- Pak”.

Merasa tidak pernah meminta mengikatkan barang, saya kontan protes. Dengan nada tanya saya komplain, “Loh pak bukannya bagasinya free 15 kg?” seraya menunjukkan tulisan di print out tiket. Tapi Si Petugas kemudian menjelaskan bahwa free bagasi ada di bagian sana, sambil menunjuk tempat penimbangan barang. Merasa tidak perlu berlama-lama komplain, kami langsung saja bayar.
Tidak berhenti sampai disitu, setelah penimbangan bagasi, kami menuju tempat duduk di ruang tunggu bandara di lantai 2. Setelah naik tangga, terdapat mbak-mbak yang duduk di pos tepat di ujung tangga. Kemudian Si Mbak yang juga pakai seragam, melambaikan tangan, “Mari pak”. Karena merasa itu adalah petugas bandara yang mungkin pemeriksaan tiket kami, maka kami pun menghampiri Si Petugas tersebut. Setelah menuliskan sesuatu dan memberikan 2 tiket, “2 penumpang biaya Rp. 40.000,-“. Ala mak.. lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya... (hehe...). Terjebak lagi rupanya aku kali ini. Rupanya, petugas tersebut adalah agen asuransi yang memberikan biaya asuransi bagi penumpang pesawat. Tak kuasa aku untuk berkata kepada Si Petugas yang sedang tersenyum. Astaghfirullah...

Akhirnya dengan nada bercanda, aku sampaikan kepada Bapak dan Ibuk waktu itu, “Waduh, kejebak 2 kali ini..”. 

Maka teringat hadits Rosulullah SAW, “Rosulullah SAW telah melarang orang kota menjual kepada orang kampung” (HR. Bukhori dan Muslim). Dengan maksud, Islam menjaga agar jangan sampai terjadi Dharar dan persengketaan. Apabila Si Orang Kampung tersebut tidak tahu harga atau persoalan dalam jual beli tersebut, akan mudah bagi Orang Kota untuk mengambil “keuntungan” dari orang desa tersebut.

Walaupun ada hak khiyar (pilihan untuk membatalkan transaksi) bagi orang desa, tapi secara pribadi dalam kasus ini, rasanya bagi saya sebagai orang desa, tidak mau ribet-ribet dengan komplain dan berusaha membatalkan transaksi-transaksi tersebut..  Just let the incident pass away J

Juanda Surabaya, 10 April 2014

PERJALANAN HIDUPKU

Nama saya Ardhian Zahroni, biasa dipanggilan Roni. Ayah saya bernama Abdul Manan dan ibu saya bernama Titik Ratnawati. Saya anak keempat dari empat bersaudara, jadi saya adalah anak bungsu di keluarga. Saat ini saya tinggal di Dusun Urung-Urung Desa Jatijejer Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, bersama istri dan tiga anak saya di sebuah desa di lereng Gunung Welirang. Saya lahir di Mojokerto tanggal 17 Juni 1980.

Masa kecil saya tinggal di Jl. KH. Nawawi No 12 Kota Mojokerto. Bersama Bapak, Ibu dan ketiga saudara saya. Bapak dan Ibu saya adalah guru SD. Bapak mengajar di SDN Wates 5 Mojokerto, sedangkan Ibu di SDN Mentikan 5 Mojokerto. Saya sendiri mengenyam pendidikan SD di sekolah tempat ibu saya mengajar. 

Tahun 1989, pada saat saya kelas 3 SD, Bapak saya menjadi Kepala Sekolah di SDN Wates 5. Maka kami sekeluarga menempati rumah dinas di SDN Wates 5, tepatnya di Jl. Bromo Raya Perumnas Wates Mojokerto. Kami tinggal di rumah tersebut selama 9 tahun. Setelah Bapak pensiun, kami pindah kembali ke Rumah asal, Jl. KH. Nawawi No 12 Mojokerto.

Saat SD, saya menimba ilmu di sekolah pinggiran. Kebanyakan siswanya adalah anak-anak yang kurang memiliki motivasi belajar tinggi. Namun demikian hal tersebut menjadikan saya menjadi siswa teladan dengan memegang juara bertahan ranking satu mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Sejak kecil saya sudah memiliki impian untuk berprestasi, jadi walaupun teman-teman sebaya kurang bersemangat dalam belajar hal tersebut tidak mengendorkan semangat saya untuk meraih prestasi yang tinggi. 

Tahun 1992 Alhamdulillah saya masuk SMP favorit di kota kelahiran saya, SMP Negeri 1 Mojokerto. Di SMP ini saya menemukan pengalaman dan suasana belajar yang baru, yang berbeda dengan tempat saya belajar di SD. 
 
Pengalaman yang cukup pahit ketika saya tidak memakai atribut seragam yang lengkap pada hari Senin. Saya dijemur di lapangan upacara dihadapan seluruh siswa yang ada. Betapa malunya saat itu.
Setelah itu saya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di SMA Negeri 1 Sooko Mojokerto. Sekolah yang terkenal favorit karena banyak meluluskan siswa yang berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tapi juga sekaligus terkenal dengan kenakalan siswa-siswanya. Namun dibalik kenakalannya tersebut, siswa-siswa SMA Sooko adalah anak-anak yang cerdas dan berprestasi. SMA Sooko dahulunya adalah SMPP (Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan). Tahun 1984 SMPP diubah namanya menjadi SMAN 1 Sooko. 

Dalam benak anak yang baru gede seperti saya waktu itu, betapa keren sekolah di SMA Sooko tersebut. Dengan area sekolah yang demikian luas dan memiliki reputasi nama sebagai sekolah favorit, maka masuk ke SMAN 1 Sooko merupakan cita-cita saya pada saat itu. Dan bukan berarti masuk SMAN 1 Sooko tersebut adalah hal yang mudah, persaingan yang cukup ketat terjadi pada saat penjaringan awal siswa baru di SMAN 1 Sooko. Saat itu NEM SMP saya adalah 43. Detik-detik berakhirnya pengumuman siswa baru merupakan detik-detik yang paling menegangkan, karena menggunakan sistem gugur. Ketika nilai NEM siswa yang barusan mendaftar lebih baik, maka siswa yang berada di daftar siswa masuk paling bawah akan dieliminer. Pada saat itu nilai saya tidak berada di posisi paling bawah. Akan tetapi juga merasa deg-degan, jangan-jangan pendaftar baru dengan nilai lebih bagus dari saya jumlahnya banyak, sehingga dapat mengeliminasi nama saya dari daftar siswa baru. Alhamdulillah, saya berhasil lolos terdaftar sebagai salah satu siswa baru SMA Negeri 1 Sooko di tahun 1995.

Lulus dari SMAN 1 Sooko, saya berniat untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pilihan saya waktu itu ada dua, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas Brawijaya (Unibraw). Saya mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Malang. Ketiga saudara saya kuliah di Malang seluruhnya. Kakak tertua, Mbak Novida Maria Ulva kuliah STIKN (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi), saat itu barusan lulus kuliah dan masih tinggal di Malang. Kakak kedua dan ketiga, Mas Andi Firmansyah dan Mbak Arlin Nur Cahyani masih aktif kuliah semester 8 dan semester 4 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jurusan Bahasa Inggris. 

Setelah melalui penantian yang cukup mendebarkan, pada hari pengumuman UMPTN. Pagi-pagi sekali saya beli Koran Jawa Pos untuk mencari berita pegumuman kelulusan. Tapi saat itu saya tidak mau membaca sendiri hasil pengumumannya. Setelah beli koran, saya berikan koran tersebut ke Bapak. Kemudian saya tinggal ke rumah tetangga sambil berdoa semoga Allah memberikan kelulusan. Dan ternyata saat itu keluar dari rumah kakak saya Mbak Arlin dengan wajah penuh kegembiraan memanggil saya dan setengah berteriak bahwa saya lulus UMPTN, dan masuk ke Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS Surabaya. Alhamdulillah.

Disinilah saya mulai membangun cita-cita, mimpi dan harapan saya kedepan. Betapa girangnya hati saya saat itu, berangkat menuju Surabaya didampingi oleh Bapak untuk mengurus keperluan Perkuliahan. Ya saya sudah resmi menjadi Mahasiswa, sebuah istilah yang selama ini saya impikan semasa SMA. Apalagi Mahasiswa PTN terkenal seperti ITS. Wow betapa bangga. Demikian pula roman kegembiraan juga tampak jelas di wajah orang tua saya saat itu. Saya seakan menjadi anak kebanggaan dengan berhasil masuk PTN sementara ketiga kakak saya sebelumnya tidak berhasil menembus tes UMPTN tersebut.

Tahun 1998, saya memasuki dunia kampus di ITS Surabaya. Semester I adalah masa adaptasi yang tidak pernah terlupakan. Bagaimana saat itu saya harus hidup mandiri, jauh dari saudara dan orang tua. Setiap bulan uang saku saya mendapat uang saku dari orang tua sebesar Rp. Rp.90.000 sampai 120.000,-/bulan. Dengan harga makan rata-rata masih Rp.1000 per porsi sudah dapat nasi dan sayur dengan lauk telur plus teh hangat, saya harus menyisihkan uang tersebut untuk keperluan kuliah yang lain. Menabung untuk beli buku, kalkir, alat gambar, dll. Dengan anggaran yang terbatas, saya coba untuk menghemat pengeluaran makan dengan memasak nasi sendiri dan beli lauk di warung. Terkadang hanya makan dengan lauk “ote-ote”, lumayan hanya Rp. 500, sudah dapat nasi dan sayur plus lauk istimewa “ote-ote” satu biji, minumnya air putih gratis. Dengan kebiasaan seperti itu, maka wajar kalau saat ini saya bukanlah orang yang rewel dalam masalah makanan. Mungkin lidah saya sudah “kebal” karena terbiasa makan makanan seadanya saat di kos-kosan semasa kuliah.
Tahun 2003 saya lulus dari ITS, tepatnya bulan September 2003. Kuliah di Jurusan Teknik Sistem Perkapalan saya tempuh dalam 4,5 tahun. Molor 1 semester. 

Selepas lulus kuliah, saya berniat untuk bekerja. Tidak terhitung berapa surat lamaran yang saya tujukan, baik itu taraf perusahaan multinasional bahkan sampai perusahaan abal-abal yang hanya mencari tenaga sales untuk memasarkan produknya. Tidak terhitung berapa kali saya mengikuti tes, mulai tes tulis, tes psikologi, tes kesehatan, tes wawancara. Tapi ternyata rejeki belum juga sampai.
Pengalaman yang tidak terlupakan adalah ketika saya membaca iklan cilik di Jawa Pos di hari Sabtu. Karena hari Sabtu memang hari yang ditunggu-tunggu oleh “pengangguran-pengangguran” untuk mencari iklan lowongan yang banyak bertebaran di halaman iklan di media cetak. Saat itu saya ingin mendapat penghasilan yang lebih besar. Maklum saat itu penghasilan saya satu-satunya adalah dari gaji Les privat anak SMP – SMA di daerah Surabaya. Sekedar untuk menyambung hidup. Maka saya bertekad untuk segera bekerja di perusahaan. Saya tertarik dengan kalimat di salah satu iklan : “Walk in interview, langsung kerja. Gaji Rp. 2 – 5 Juta”. Mata saya langsung tertuju pada salah satu iklan cilik tersebut. Wah, tidak ada salahnya dicoba, batin saya waktu itu.

Maka saya langsung starter sepeda motor kesayangan menuju lokasi. Sesampai di tempat, saya temukan sebuah lokasi ruko yang sudah dipadati pelamar kerja seperti saya. Penampilannya rata-rata sama. Pakai kemeja lengan panjang warna cerah, bercelana hitam dan sepatu pantofel yang mengkilap. Setelah mendaftar Rp. 10.000,- saya diarahkan menuju tempat interview. Dari awal saya sudah mulai curiga ini bukan tempat yang tepat untuk saya. Petugas interview seorang laki-laki paruh baya, setelah basa-basi tentang riwayat hidup. Saya diminta untuk mengikuti “training kerja”. Instrukturnya seseorang yang tampilannya kurang meyakinkan. Rambutnya tidak tertata rapi, dengan kemeja lengan pendek dan celana yang tidak rapi. Kuku tangannya panjang sepertinya tidak terawat dengan baik. Dari cara komunikasi bisa saya pastikan bukan dari kalangan berpendidikan tinggi. 

Saya bersama empat orang lainnya dikirim menuju Perbatasan Gresik Mojokerto. Di sana kami ternyata disuruh untuk jualan produk dengan cara mengelabui calon konsumen. Instruktur training mulai beraksi. Dengan suara yang keras dia memanggil calon konsumen untuk membukakan pintu. Dengan ekspresi gembira yang terlalu dibuat-buat dia mengatakan selamat bahwa anda telah memenangkan hadiah dari PT. Unilever, karena Unilever sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 20. Kemudian dia meminta calon konsumen untuk mengambil bungkus salah satu produk Unilever yang ada di rumah tersebut. Entah itu Pepsodent, Molto, Lifeboy, atau yang lainnya. Apabila ternyata calon konsumen tersebut punya bungkus dari salah satu produk Unilever, maka dia dikatakan mendapat diskon dari produk yang ditawarkan. Seingat saya, produk yang ditawarkan saat itu adalah alat kesehatan. Harga awal katanya Rp. 500.000,- tapi saat ini ada program dari Unilever maka harganya Cuma Rp. 190.000. 

Setelah melihat aksi instruktur tersebut, saya akhirnya mundur teratur. Saya memilih untuk tidak ikut lebih jauh, dan memilih duduk-duduk di teras masjid. Dengan napas dalam saya geleng-geleng kepala sendiri, kok bisa saya ikut kerja model seperti ini. Ya itu salah satu pengalaman sewaktu menjadi Job Seeker.

Pekerjaan yang saya dapat akhirnya tidak jauh berbeda dengan pekerjaan orang tua saya. Menjadi seorang guru. Tahun 2006 ada dua kejadian besar dalam hidup saya. Yang pertama mendapat pekerjaan, yang kedua adalah menikah dengan wanita cantik yang sholehah, bernama Suciati. 

Hal yang luar biasa ketika saya memantapkan diri untuk meminang calon istri saya, saat itu saya belum mendapat pekerjaan yang pasti. Saya saat itu dikenal sebagai “pengacara” pengangguran banyak acara. Dengan seabrek aktivitas dakwah di sekitar kampus dan terdapat jadwal mengajar les privat anak SMP/SMA di Surabaya. Namun dorongan untuk segera menikah demikian kuat. Terlebih ketika itu dua orang sahabat seperjuangan yang bernama Wasis dan Joko Lelono sudah lebih dulu menikah. Teman-teman saya ini tidak henti-hentinya menjadi provokator saya untuk segera mengakhiri masa lajang saya. Masih teringat waktu itu Jumat dini hari tanggal 17 di bulan Juni 2005 selepas pengajian, saya tidak pulang ke kos-kosan. Saya mampir masjid di dekat rumah kos, Masjid Asy-Syafiiyah. Di masjid itu saya istikhoroh dan bermunajat kepada Allah untuk diberi kemantapan hati dalam rangka meminang si calon istri idaman. Semalam suntuk saya tidak tidur, terus berdoa dan memohon yang terbaik. Sekitar pukul 03.00 pagi, akhirnya saya memberanikan diri untuk melayangkan SMS ke nomor wanita idaman. Kata demi kata yang saya ketik dengan hati-hati saya baca perlahan. Cukup lama waktu itu untuk memilih kata-kata. SMS yang biasanya saya ketik tidak lebih dari 1 menit, tapi untuk urusan ini 15 menit belum juga selesai. Setiap kalimatnya sampai saat ini masih tersimpan. “Bismillah, maukah ukhti menerima khitbahku? Ana berharap mendapat teman terdekat yang sholehah, untuk taat kepada Allah, untuk menyempurnakan agama dengan menikah. Ana berharap Ukhti bersedia menjalani proses awal ini. Apapun pilihan Ukhti, akan ana hormati sebagai keputusan seorang yang ana kagumi karena Allah. Semoga Allah menunjukkan yang terbaik untuk kita. Semoga pesan ini adalah awal yang penuh berkah”. Dengan bismillah, saya kirim teks SMS ke nomor wanita yang saat ini menjadi istriku tepat pukul 02:35:06. Tepat dengan tanggal dan jam kelahiran saya 25 tahun yang silam.

Adzan subuh berkumandang, tidak terasa semalaman saya terjaga untuk bermunajat dan menyusun kata-kata khitbah kepada calon istri. Perasaan grogi dan harap cemas bercampur aduk. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam saya lihat HP Nokia saya berharap ada balasan dari si dia. Kemudian terdapat SMS balasan, insya Allah dia bersedia untuk bertaaruf dengan saya. Dan melanjutkan komunikasi lewat email.

Alhamdulillah saat ini saya bekerja sebagai seorang guru di Pondok Pesantren eLKISI Mojokerto. Dan di rumah ada pekerjaan sampingan, terdapat toko alat tulis, warnet, dan foto copy center. Saya tinggal bersama seorang istri dan tiga orang anak di pedesaan. Dengan latar belakang Gunung Welirang.

Saat ini saya mengikuti Program S2 di Universitas Adibuana Surabaya Jurusan Teknologi Pendidikan. Saya berharap mendapat ilmu yang bermanfaat dari tempat tersebut sekaligus mendapatkan gelar Master Pendidikan. Amin.

Editing terakhir tanggal 27 Juni 2017

Kajian Bersama Syabab Kampus

Alhamdulillah, bisa ketemu dengan para syabab kampus Surabaya. Just remembering of memory 15 years ago when still be a college student. Allahumma taqobbal minnaa.. Amin
‪#‎Kajian‬ Pengantar Ushul Fiqh
Trawas, 1 Juni 2015


eLKISI road to champion


“eLKISI road to champion”… eLKISI berjalan menuju juara. Kalimat yang dipakai sebagai sandi /password wifi di ruang guru lantai 2 Lansia. Seakan menjadi semangat bagi teman-teman di eLKISI untuk berbenah. 

Memang banyak PR yang harus segera diselesaikan, mulai dari belum rapinya administrasi pondok, terdapat pengajar yang kurang disiplin, kurangnya pengalaman mengajar para guru, semangat belajar para santri yang kurang, nilai akademik yang butuh ditingkatkan, sarpras yang belum ideal, problem santri dan seabrek problematika lain yang butuh dipecahkan. Namun kondisi tersebut bukanlah alasan untuk mengeluh dan berdiam diri, sambil mencari kambing hitam dan berusaha berdalih untuk mencari pembenaran atas kondisi salah yang ada.

Kalau mau mencari ibroh, maka kita bisa melihat perusahaan komputer merk HP. Hewlett- Packard memulai usahanya dari sebuah garasi dengan modal $ 538 pada tahun 1939. Sekarang 76 tahun, HP telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia teknologi informasi. Sekarang memiliki lebih dari 300.000 karyawan dan pendapatan diposting $ 126.000.000.000 pada tahun 2010. Pendiri HP memulai usahanya dari sebuah garasi, …. Dan dengan izin Allah perusahaan tersebut menjadi perusahaan raksasa sampai saat ini.

Maka kalau hanya sekedar wifi tidak konek, guru yang jumlahnya terbatas, ruang gazebo yang tidak standar, papan tulis yang terlalu kecil, printer sering ngadat, dll.. bukanlah alasan untuk kita berputus asa dan eLKISI tidak menjadi juara.

Alhamdulillah saat ini momen yang tepat untuk berbenah. Di awal tahun pembelajaran baru, para ustad semakin sinergi dengan diadakannya Rapat Koordinasi tiap pagi pukul 06.30-06.45. Sejumlah 45 ustad dan ustadzah eLKISI berkumpul untuk menyamakan persepsi dan berkoordinasi, bukan semata untuk mencari pundi-pundi rupiah, tetapi lebih dari itu yakni dilandasi semangat untuk mendidik generasi muslim terbaik dan dalam rangka berjuang meninggikan kalimat Islam. Suatu semangat baru untuk berbenah menjadi Ponpes terbaik. Kalau dulu bisa jadi jam kosong banyak menghiasi hari-hari para santri, tapi jangan harap itu terjadi sekarang. Mungkin dahulu koordinasi para ustad jarang dilakukan, tapi saat ini koordinasi dilakukan tiap pagi. 

Dimulai dengan momen akreditasi yang akan dilaksanakan di minggu ke-3 bulan Agustus. Bismillah eLKISI road to champion…

Al Faqir ilallah.. Abu Ahsan Al Trawasiy
Mojokerto, 7 Agustus 2015

HIDUP ITU SEPERTI ORANG YANG NAIK GUNUNG

Suatu malam setelah rapat yayasan pada hari Senin, kami ngobrol santai bersama para ustadz. Kebetulan saat itu ada Ustad Hairul, Ustad Syamsul, dan saya yang masih bertahan di kantor PSB. 

Ustad Hairul yang terkenal ceplas ceplos membuka topik pembicaraan tentang motivasi hidup. “Saya gak setuju kalau ada orang yang punya prinsip; Jalani hidup seperti air, hidup itu yang penting mengalir”, ujar beliau. “Iya kalau mengalir ke tempat yang baik, kalau mengalir ke comberan bagaimana? Jadi salah prinsip hidup seperti itu”, jelas beliau.

Beliau melanjutkan, “Yang benar harusnya hidup itu seperti orang yang naik gunung, kalau orang naik gunung maka yang dituju jelas ke puncak. Walaupun jalannya naik turun, belak belok tapi arahnya menuju ke puncak. Bisa jadi untuk menuju puncak jalan yang perlu ditempuh harus turun dulu. Atau untuk menuju puncak harus melewati rute yang berliku. Tetapi rute tersebut memang sudah seharusnya dilalui karena memang peta untuk menuju puncak seperti itu.” Jelas beliau dengan bersemangat. 

“Orang yang naik gunung yang difikirkan bukan hanya untuk mencapai puncak, tetapi dia akan selalu menikmati perjalanan selama naik gunung tersebut. Selama perjalanan dia akan melihat pemandangan yang sangat indah. Obsesinya untuk mencapai puncak tidaklah membuat dirinya stress sehingga tidak menikmati perjalanan. Walaupun capek, dia akan sangat menikmati perjalanan tersebut dengan melihat berbagai pemandangan indah dan menikmati petualangan baru bagi dirinya. Karena dia tahu puncak bukanlah segalanya. Setelah berada di puncak dia tidak akan tinggal selamanya di sana. Tapi cukup beberapa saat untuk menikmati ciptaan Allah di puncak gunung kemudian dia melanjutkan perjalanan turun gunung dengan perasaan puas dan senang.” 

Meskipun disampaikan dengan santai dan diselingi dengan gurauan, apa yang disampaikan Ustad Hairul sangatlah inspiratif. Apalagi kalau dihubungkan dengan amal usaha di eLKISI saat ini. Untuk membangun lembaga yang terbaik untuk umat, kita tidak cukup bermodalkan “asal jalan” yang sekedar mengalir seperti air, yang belum tentu bermuara pada kebaikan. Namun yang kita butuhkan adalah azam yang tinggi disertai amal terbaik untuk mencapai Ridho Ilahi, dalam rangka mewujudkan lembaga pesantren yang terbaik untuk umat. Maka jalan yang berliku pastilah akan ditemui. Dan untuk menuju puncak terkadang memang perlu melalui jalan yang menurun atau bahkan jurang curam yang tajam. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang pantas kita hindari apalagi kita takuti, namun kita anggap sebagai perjalanan yang menghiasi peta menuju ke puncak, yang kita nikmati sebagai tantangan dan petualangan baru. Dan kita sadar bahwa puncak di dunia bukanlah segala-galanya bagi kita, melainkan kita anggap sebagai bagian dari perjalanan untuk menjadi hamba Allah yang terbaik di sisi-Nya. 

Saya dan Ustad Syamsul sesekali menimpali  pembicaraan Ustad Hairul dan menganggukkan kepala tanda setuju, sambil makan camilan. Alhamdulillah.. Lumayan, dapat ilmu baru dari salah seorang pengasuh yang bertitel master ini. Tidak terasa ngobrol tersebut berlangsung sampai larut hingga jam menunjukkan lebih dari pukul 23.00. 

Faidza faroghta fanshob, wa ilaa robbika farghob..

Urung-Urung, Kamis 8 Agustus 2015 jam 21:28
Al Faqir ilallah, Abu Ahsan Al-Trawasy