Faktor penentu terwujudnya
proses pendidikan yang
bermutu adalah keefektifan kepemimpinan kepada sekolah;
partisipasi dan rasa tanggung jawab guru, staf dan pegawai lainnya dilingkungan
sekolah; proses belajar mengajar yang efektif; pengembangan guru, staf dan pegawai
lainnya yang terprogram; kurikulum yang relevan dan fleksibel dalam menghadapi
perkembangan zama; visi misi dan strategi yang jelas; iklim sekolah yang
kondusif; penilaian komperhensif tentang kekuatan dan kelemahan; komunikasi
yang dilakukan secara efektif, baik secara internal maupun eksternal; serta
keterlibatan orang tua dan masyarakat (Karwati, 2013). Tulisan ini merupakan
hasil studi pustaka yang mencoba memberikan konsep dalam rangka mengembangkan
sekolah yang efektif melalui peran maksimal dari kepala sekolah, melihat model
kepemimpinan kepala sekolah yang ideal untuk mendukung pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS).
Pendidikan merupakan unsur utama bagi kemajuan bangsa salah satunya
adalah bangsa Indonesia, untuk itu pendidikan perlu dibangun dan dikembangkan
agar mampu menghasilkan sumber daya manusia
yang unggul sesuai dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam hal ini paradigma baru dalam pendidikan mengharuskan untuk memahami pentingnya membangun kualitas pendidikan yang ada
di sekolah. Membangun sekolah bermutu
tentunya akan melibatkan banyak faktor, dimana kepala sekolah menjadi
kunci utama dan merupakan salah satu faktor strategi yang paling penting dalam
mengembangkan sekolah yang bermutu tersebut, selain itu kepala sekolah
dihadapkan pada tantangan dan
tuntutan yang semakin
dinamis dari stakeholders,
terutama dalam perannya sebagai
nahkoda yang menentukan
arah dan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah (Jelantik 2015).
Startegi dalam peningkatan mutu suatu pendidikan dibutuhkan dalam
rangka memecahkan persoalan, salah satunya adalah kurang berdaya dan kurangnya
pengoptimalan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Salah satu dari hal
tersebut adalah upaya peningkatan profesionalisme dari kepala sekolah yang
merupakan unsur strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan di suatu lembaga
pendidikan. Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah merupakan proses
yang berkaitan dengan keseluruhan organisasi sekolah, serta harus dilakukan
secara berkesinambungan dan terkontrol. Profesionalisme kepala
sekolah harus secara sinergis
dilaksanakan dengan melibatkan pengawas sekolah serta masyarakat sebagai pihak
pengguna.
Motivasi internal dari diri kepala sekolah juga merupakan kunci
dari terwujudnya profesionalisme, tanpa adanya motivasi dan kesadaran internal
dari kepala sekolah, serta semangat untuk mengabdi, yang akan melahirkan visi
sekolah maupun kemampuan konseptual yang jelas dari kepala sekolah. Hal inilah yang
merupakan faktor yang penting dan harus terus ditumbuhkan.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal
yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya
Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan
melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM).
Dimana mutu Sumber Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu
pendidikan. Mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi
syarat, dan
segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan.
Komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, serta biaya.
Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu
saja tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk
mewujudkannya adalah dengan pengembangan profesionalisme. Ini membutuhkan
dukungan dari pihak yang mempunyai peran penting, dalam hal ini adalah kepala
sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat
penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program
pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan
kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin
pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang profesional
dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan
bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini, pengembangan
profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan
fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga
kompetensi guru tidak hanya mandeg pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya,
melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga profesionalisme guru
akan terwujud. Karena tenaga kependidikan profesional tidak hanya menguasai
bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi
peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap
dunia pendidikan.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu
pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama, strategi pembangunan
pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian
lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah
dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya,
penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya,
maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan
output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi
input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function
(Hanushek, 1979, 1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan
(sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat
macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya,
banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau
tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan
singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan
seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
MUTU
PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Salah satu indikator keberhasilan kepemimpinan seorang kepala
sekolah diukur dari mutu pendidikan yang ada di sekolah yang dipimpinnya. Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output
pendidikan (Depdiknas, 2001: 5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang
harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan
merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan
input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan
(enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar
mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja
sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya,
efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna
sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang
ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Dr. Murniati A. R.,
M.Pd. 2008).
Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur
dinamis yang akan ada dalam sekolah itu sendiri dan lingkungannya sebagai suatu
kesatuan sistem. Menurut Ryan, Thomas G., and Jodi Gottfried. (2012), ada
sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni
keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; partisipasi dan rasa tanggung jawab
guru dan staf; proses belajar-mengajar yang efektif; pengembangan staf yang
terprogram; kurikulum yang relevan; memiliki visi dan misi yang jelas; iklim
sekolah yang kondusif; penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan;
komunikasi efektif baik internal maupun eksternal; serta keterlibatan orang tua
dan masyarakat secara instrinsik.
Berdasarkan konsep mutu pendidikan tersebut maka dapat dipahami
bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input
pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan.
Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu
tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan
(school resources are necessary but not sufficient condition to improve student
achievement).
Selama tahun 2002 dunia pendidikan nasional ditandai dengan
berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi
yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang
perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan
selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan
life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan
dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut
memiliki kisah dan problematikanya sendiri.
Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat
yang sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh,
perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah; dari pusat ke daerah;
dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari pemerintah ke masyarakat;
dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain
yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah
pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas
(bottom up), dan sejenisnya.
Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam
dunia pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen
berbasis sekolah (school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah
(school based quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence
based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based
teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education),
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis
kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based
evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan
berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan
berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis
internet (internet based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
dan entah apa lagi.
Robert J. Starratt. (2007) mengatakan: “orang yang mendalami teori
difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam
bidang apapun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang
dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai
kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai
kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu
perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas
akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur
dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang
melaksanakannya.
Banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini
kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya (termasuk kepala sekolah), di
samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba
instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan
suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan dan secara implisit
dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka sudah barang
tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko kegagalan yang besar.
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Secara garis besar, ruang lingkup tugas kepala sekolah dapat
diklasifikasikan ke dalam dua aspek pokok, yaitu pekerjaan di bidang
administrasi sekolah dan pekerjaan yang berkenaan dengan pembinaan profesional
kependidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, ada tiga
jenis keterampilan pokok yang harus dimiliki oleh kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan yaitu keterampilan teknis (technical skill), keterampilan
berkomunikasi (human relations skill), dan keterampilan konseptual (conceptual
skill).
Menurut persepsi banyak guru, keberhasilan kepemimpinan kepala
sekolah terutama dilandasi oleh kemampuannya dalam memimpin. Kunci bagi
kelancaran kerja kepala sekolah terletak pada stabilitas dan emosi, serta rasa
percaya diri. Hal ini merupakan landasan psikologis untuk memperlakukan stafnya
secara adil, memberikan keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku dan
melaksanakan tugas.
Dalam konteks ini, kepala sekolah dituntut untuk menampilkan
kemampuannya membina kerja sama dengan seluruh personel dalam iklim kerja
terbuka yang bersifat kemitraan, serta meningkatkan partisipasi aktif dari
orang tua murid. Dengan demikian, kepala sekolah bisa mendapatkan dukungan
penuh dari setiap program kerjanya.
Keterlibatan kepala sekolah dalam proses pembelajaran siswa lebih
banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui pembinaan terhadap para
guru dan upaya penyediaan sarana belajar yang diperlukan.
Kepala sekolah sebagai komunikator bertugas menjadi perantara untuk
meneruskan instruksi kepada guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah
kepada instansi kepada para guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah
kepada instansi vertikal maupun masyarakat. Pola komunikasi dari sekolah pada
umumnya bersifat kekeluargaan dengan memanfaatkan waktu senggang mereka. Alur
penyampaian informasi berlangsung dua arah, yaitu komunikasi top-down,
cenderung bersifat instruktif, sedangkan komunikasi bottom-up cenderung berisi
pernyataan atau permintaan akan rincian tugas secara teknis operasional. Media
komunikasi yang digunakan oleh kepala sekolah ialah: rapat dinas, surat edaran,
buku informasi keliling, papan data, pengumuman lisan serta pesan berantai yang
disampaikan secara lisan.
Dalam bidang pendidikan, yang dimaksud dengan mutu memiliki
pengertian sesuai dengan makna yang terkandung dalam siklus pembelajaran.
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu:
sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan
(fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent
requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental
requirements). Adapun yang dimaksud mutu sesuai dengan standar, yaitu jika
salah satu aspek dalam pengelolaan pendidikan itu sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang
dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja
(performance), (2) feature, (3) kehandalan (reliability), (4) konfirmasi
(conformance), (5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7)
estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang
bersifat subjektif.
Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah
atau keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti gedung
dan jumlah ekstrakurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat
bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang
diterima di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat memahami kualitas
pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di
sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu
komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan
hasil.
Pada tingkat sekolah, kepala sekolah sebagai figur kunci dalam
mendorong perkembangan dan kemajuan
sekolah. Kepala sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab
dan otoritasnya dalam program
– program sekolah,
kurikulum dan keputusan personel,
tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas keberhasilan siswa dan
programnya. Kepala sekolah harus pandai dalam memimpin kelompok
dan pendelegasian tugas
dan wewenang.
Bila dikaji secara lebih luas maka peran kepala sekolah
memiliki banyak fungsi antara lain sebagai berikut (Mulyasa,
2007)
a. Sebagai evaluator maka
kepala sekolah harus melakukan langkah
awal yaitu, melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan
dan pribadi para guru, tenaga kependidikan, administator
sekolah dan siswa. Data hasil
pengukuran tersebut kemudian ditimbang–timbang dilakukan evaluasi. Evaluasi
yang bisa dilakukan, antara lain terhadap program, perlakuan guru terhadap
siswa, hasil belajar, perlakuan belajar, perlengkapan
belajar, dan latar belakang guru.
b. Sebagian manajer maka
kepala sekolah harus memerankan fungsi
manajerial dengan melakukan proses perencanaan, pengorganisasian,
menggerakkan dan mengoordinasikan (planning, organizing, actuating, dan
controling).
Merencanakan berkaitan dengan menetapkan tujuan dan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut. Mengorganisasikan berkaitan dengan mendesain dan
membuat struktur organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah memilih orang –
orang yang kompeten dalam menjalankan pekerjaan dan mencari sumber daya
pendukung yang paling sesuai. Menggerakkan adalah mempengaruhi orang lain agar
bersedia menjalankan tugasnya secara sukarela dalam rangka mencapai tujuan yang
diinginkan. Mengontrol adalah membandingkan apakah yang dilaksanakan telah
sesuai dengan yang direncanakan.
c. Sebagai administator maka
kepala sekolah memiliki dua tugas utama. Pertama, sebagai pengendalian
struktur organisasi, yaitu mengendalikan bagaimana cara
pelaporan, dengan siapa tugas
tersebut harus dikerjakan dan dengan
siapa berinteraksi dalam mengerjakan tugas tersebut. Kedua,
melaksanakan administrasi substantif yang
mencakup administrasi kurikulum,
kesiswaan, personalia, dan administrasi umum.
d. Sebagai supervisor maka
kepala sekolah berkewajiban untuk memberikan pembinaan atau bimbingan
kepada para guru dan tenaga kependidikan
serta administrator lainnya.
Namun, sebelum memberikan pembinaan dan bimbingan
kepada orang lain maka kepala sekolah harus membina dirinya sendiri.
Supervisi bisa dilakukan ke dalam kelas atau dalam kantor tempat orang – orang
bekerja.
e. Sebagai leader
maka kepala sekolah harus mampu menggerakkan orang lain agar secara
sadar dan sukarela melaksanakan kewajibannya
secara baik sesuai dengan
yang diharapkan pimpinan dalam
rangka mencapai tujuan.
Kepemimpinan kepala sekolah terutama ditujukan kepada para guru karena merekalah
yang terlibat secara langsung
dalam proses pendidikan. Namun
demikian, kepemimpinan kepala
sekolah juga ditujukan kepada para tenaga kependidikan dan administrator
lainnya.
f. Sebagai inovator maka
kepala sekolah melaksanakan pembaruan terhadap pelaksanaan pendidikan
di sekolah yang dipimpin
berdasarkan prediksi yang telah
dilakukan sebelumnya. Misalnya saja
inovasi berupa pembaruan kurikulum dengan memperhatikan potensi dan
kebutuhan daerah tempat sekolah tersebut berada. Inovasi itu bisa dilakukan
terhadap materi kurikulum (isi kurikulum) ataupun strategi
proses belajar mengajar.
g. Sebagai motivator maka
kepala sekolah harus memberikan motivasi
kepada guru dan tenaga
kependidikan dan administratir sehingga mereka bersemangat dan bergairah
dalam menjalankan tugasnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Motivasi
bisa diberikan dalam bentuk hadiah atau hukuman baik fisik
mampu nonfisik. Namun, dalam
memberikan motivasi ini harus dipertimbangkan rasa keadilan dan
kelayakannya. Dalam hal ini penting bagi kepala sekolah untuk menciptakan iklim
yang kondusif.
Sementara itu, menurut Wohlstetter dan Mohrman peran kepala sekolah
dalam MBS adalah sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liasion. Sebagai
desainer kepala sekolah harus membuat rencana dengan memberikan kesempatan
untuk terciptanya diskusi menyangkut isu dan permasalahan di
seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Tentu
saja dalam hal
ini harus melibatkan berbagai komponen terkait secara
demokratis. Sebagai motivator kepala sekolah harus menujukkan adanya
kepercayaan, mendorong proses pengambilalihan risiko dan menyampaikan informasi
serta mempermudah partisipasi berbagai pihak dalam implementasi MBS.
Sementara itu, sebagai
fasilitator kepala sekolah harus
terus mendorong proses
pengembangan kemampuan seluruh staf
secara terus – menerus dan berkesinambungan terhadap seluruh aktivitas
sekolah. Kepala sekolah harus menyediakan sumber daya yang tampat seperti
kebutuhan finansial, peralatan serta material lain, juga sumber daya yang tidak
tampak seperti waktu dan kesempatan kepada staf untuk membantu kemajuan sekolah.
Selanjutnya, sebagai liasion
atau penghubung sekolah dengan
dunia luar sekolah, kepala
sekolah harus membawa ide baru dan hasil penelitian ke
sekolah, terutama yang terkait
dengan pengajaran dan pembeajaran.
Kepala sekolah juga mengomunikasikan kemajuan dan hasil yang
telah dicapai di sekolah kepada stakeholders di luar sekolah.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Manajemen berbasis sekolah (MBS)
merupakan sistem yang menuntut sekolah untuk dapat
berdiri secara mandiri
dan berdaya dalam menggali, mengalokasikan, menetutkan prioritas kerja,
mengendalikan, serta mempertanggungjawabkan
pemberdayaan sumber daya yang dimilikinya,
baik kepada masyarakat maupaun pemerintah. Untuk menciptakan sekolah
lebih mandiri atau memberdayakan,
dibutuhkan otonomi. Dalam MBS, dibutuhkan fleksibilitas yang lebih besar oleh
kepala sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Hasbullah, 2006).
Meskipun MBS menawarkan otonomi dan kebebasan yang besar kepada sekolah, nemun
tetap disertai tanggung jawab yang harus dipikul oleh sekolah, sekolah tidak
memiliki fasilitas untuk berjalan sendirian tanpa menghiraukan kebijakan
prioritas dan standarisasi yang dirumuskan oleh pemerintah, karena bagaimana
pun sekolah berada dalam sistem pendidikan nasional, pemerintah dalam hal ini
berkewajiban membuat regulasi dan pengevaluasian pelaksanaannya (Drs. Nurkolis 2003).
KEPALA SEKOLAH IDEAL
Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah dianggap sebagai
salah satu unsur strategi dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Upaya peningkatan profesionalisme
kepala sekolah merupakan proses yang berkaitan dengan keseluruhan organisasi sekolah,
serta harus dilakukan secara berkesinambungan. Profesionalisme kepala sekolah
harus secara sinergis dilaksanakan dengan melibatkan pengawas sekolah (Mahardhani 2015).
Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah tidak akan
terwujud, tanpa adanya motivasi dan
kesadaran internal dari kepala
sekolah, serta semangat untuk mengabdi,
yang akan melahirkan
visi sekolah maupun kemampuan konsepsional yang jelas dari kepala sekolah. Ini merupaka
faktor yang penting,
tanpa adanya kesadaran dan motivasi semangat mengabdi, maka semua usaha
yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang optimal, yang akan menyebabkan
realisasinya juga tidak optimal.
Secara profesional, menurut Wahjosumidjo
(2002: 97), kepala sekolah memiliki tugas–tugas sebagai berikut:
Kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan
sekolah yang dipimpinnya
a. Kepala sekolah bertindak
dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh guru, staf, dan
pegawai lainnya yang ada disekolah
b. Dengan waktu dan
sumber yang terbatas, kepala
sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan;
c. Kepala sekolah harus berfikir secara analitik dan konsepsional
d. Kepala sekolah adalah
seorang mediator atau juru penengah
e. Kepala sekolah adalah
seorang politisi
f. Kepala sekolah adalah
seorang diplomat
g. Kepala sekolah
harus mampu mengambil keputusan–keputusan sulit.
SYARAT-SYARAT
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
Maju mundurnya sekolah tergantung bagaimana kepala sekolah sebagai
pemimpin mempoles ataupun merencanakan strategi untuk kemajuan dan kualitas
sekolah. Supaya sekolah dapat berjalan dengan baik seyogyanya kepala sekolah
memiliki syarat. Syarat yang dimaksud
disini adalah sifat-sifat atau sikap-sikap yang layak dimiliki oleh seorang
pemimpin agar dapat menjalankan kepemimpinan dengan sukses.
Untuk menjabat sebagai seorang kepala dalam lingkungan pendidikan,
ditetapkan beberapa persyaratan yaitu: pendidikan yang dimiliki, pengalaman
yang sering dinyatakan dalam bentuk golongan/pangkat, dan umur. Adapun
syarat-syarat khusus yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (Kepala Sekolah)
adalah:
1. Memiliki
kecerdasan/intelegensi yang baik,
2. Percaya diri sendiri
dan membership,
3. Memiliki
keahlian/keterampilan dalam bidangnya,
4. Cakap bergaul dan
ramah tamah,
5. Disiplin,
6. Suka menolong dan
memberi petunjuk,
7. Memiliki semangat
pengabdian yang tinggi,
8. Sehat jasmani dan
rohani.
KESIMPULAN
Dari hasil uraian
pada bagian sebelumnya, dapat
dilihat jika kepala sekolah
berperan penting dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah. Kepala sekolah
memiliki beberapa peran penting yaitu sebagai evaluator, pemimpin, supervisor,
inovator, motivator, manajer, serta
sebagai administator.
Dampak yang ditimbulkan
dari peran kepala sekolah yang ideal ini akan meningkatkan mutu
pendidikan apalagi dengan implementasi
manajemen berbasis sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling
berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu, kepala sekolah
harus mengetahui tugas-tugas yang harus ia laksanakan.
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan meliputi:
a) sebagai pendidik (edukator), b) sebagai manajer, c) sebagai administrator,
d) sebagai supervisor, e) sebagai leader, f) sebagai inovator, dan g) sebagai
motivator.
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh kepala sekolah sebagai
seorang pemimpin yaitu memiliki kecerdasan/intelegensi yang baik, percaya diri
sendiri dan membership, memiliki keahlian/keterampilan dalam bidangnya, cakap
bergaul dan ramah tamah, disiplin, suka menolong dan memberi petunjuk, memiliki
semangat pengabdian yang tinggi, serta sehat jasmani dan rohani.
DAFTAR PUSTAKA
Barr, Betty A. 2016. “Communication : Key to
Effective Organizational Leadership.” 13(6): 52–59.
Dali, Awang Lokey
& M. Hasani. 2015. “Jurnal Kepimpinan Pendidikan.” Jurnal Kepimpinan
Pendidikan 3(1): 32–46.
Dr. Murniati A. R.,
M.Pd. 2008. Referensi Manajemen Stratejik. Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Drs. Nurkolis, M.M.
2003. “Referensi Manajemen Berbasis Sekolah.”
Hamid, Oleh :, Kata
Kunci: Manajemen, and Berbasis Sekolah. 2013. “MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH.” Manajemen
Berbasis Sekolah Al-Khwarizmi I.
Jelantik, AA Ketut.
2015. Referensi Menjadi Kepala Sekolah Yang Profesional Panduan Menuju PKKS.
Yogyakarta: Deepublish.
Karwati, Euis dan
Donni J. Priansa. 2013 Kinerja dan Profesionalisme Kepala Sekolah. Bandung:
Alafabeta.
Mahardhani, Ardhana
Januar. 2015. “Kepemimpinan Ideal Kepala Sekolah.” Jurnal Dimensi Pendidikan
dan Pembelajaran 3(2): 1–4.
Mulyasa, E.
2007. Menjadi Kepala Sekolah
Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen
P., and Marry Coulter. 2005. “Manajemen.” In Management,.
Robert J. Starratt.
2007. Referensi Menghadirkan Pemimpin Visioner Kiat Menegaskan Peran Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Ryan, Thomas G.,
and Jodi Gottfried. 2012. “Elementary Supervision and the Supervisor: Teacher
Attitudes and Inclusive Education.” International Electronic Journal of
Elementary Education 4(3): 563–71.
Stefen P Robins,
Mery Coulther. 2010. “Kepemimpinan Manajer.” Penerbit Erlangga :Jakarta.
Syam, Aminuddin.
2012. “Kepemimpinan Pendidikan Yang Inovatif.” AL-Ta lim 19(2): 151.
http://journal.tarbiyahiainib.ac.id/index.php/attalim/article/view/16.
Wahjosumidjo. 2002.
Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
http://lppks.kemdikbud.go.id/berita/makalah/392/tugas-dan-peran-kepala-sekolah-sebagai-pemimpin
http://www.dutaguru.com/2016/01/menteri-anies-peran-kepala-sekolah.html
http://ellinhandayani.blogspot.co.id/2016/01/makalah-peran-kepala-sekolah-dalam.html
0 komentar:
Posting Komentar